Ketika Hukum Bungkam, Anak Bungsu Menangis: Perjuangan Sri Mulasih Lawan Kedzaliman”

Berita17 Dilihat

Klaten, www.Cakrarajawali.com // Kamis, 28/8/2025. Di balik hiruk pikuk kasus tanah Pasar Purwo Rahardjo DesaTeloyo, Jl. Tj. Anom Baru No.7, Babadan, Teloyo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah 57556.

Yang telah bergulir selama lebih dari delapan tahun, ada sosok sederhana yang menjadi simbol keteguhan hati dan cinta seorang anak kepada orang tuanya: Sri Mulasih, putri bungsu dari sembilan bersaudara almarhum Slamet Siswosuharjo.

Sejak tahun 2011, Sri Mulasih memikul beban berat mempertahankan hak tanah peninggalan orang tuanya. Tanah yang sah secara hukum, bersertifikat atas nama ayahnya, dan bahkan pajaknya masih rutin ia bayarkan hingga hari ini.

Namun, bukannya mendapat perlindungan, ia justru harus berhadapan dengan tembok tebal kekuasaan: mulai dari pemerintah desa Teloyo, pejabat daerah, hingga aparat yang seolah menutup mata.

Bagi sebagian orang, menyerah mungkin pilihan yang masuk akal. Bagaimana seorang perempuan sederhana, anak ke-9 dari keluarga besar, bisa melawan kedzaliman yang diduga dilakukan secara berjamaah oleh mereka yang punya jabatan, uang, dan kekuasaan? Tapi Sri Mulasih memilih jalan berbeda. Ia berdiri, meski sendiri, membawa semangat warisan orang tuanya.

Baginya, ini bukan sekadar persoalan tanah. Ini tentang kehormatan keluarga, tentang amanah ayah yang telah tiada, dan tentang prinsip bahwa kebenaran tidak boleh kalah oleh kebohongan.

Setiap sidang, setiap lembar bukti, setiap saksi yang ia hadirkan adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Meski melelahkan, meski jalan terasa panjang, Sri Mulasih tetap berdiri. Ia tahu, di atas semua ini ada Yang Maha Adil, yang kelak akan menyingkap tabir kebenaran.

Di tengah derasnya dugaan permainan kekuasaan, suara Sri Mulasih menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa keadilan bukan hadiah yang diberikan, melainkan hak yang harus diperjuangkan.

Kini, perjuangannya bukan lagi milik dirinya sendiri. Ia menjadi simbol perlawanan masyarakat kecil yang berani bersuara ketika haknya dirampas.

Semangatnya mengetuk hati publik, menggugah nurani penegak hukum, dan menjadi doa yang terus menggema: agar negeri ini benar-benar menjadi negara hukum, bukan negara kekuasaan.

Dari seorang anak bungsu yang sederhana, kita belajar arti keberanian: bahwa melawan kedzaliman adalah bentuk tertinggi bakti seorang anak kepada orang tuanya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *